ngluru neng blog iki

Kamis, 03 Maret 2011

The Catcher In The Rye

Novel ini masih di tangan Mark David Chapman ketika ia diciduk polisi setelah menembak mati John Lennon. Novel yang sama juga menjadi obyek obsesi calon pembunuh Ronald Reagan, dan konon juga oleh beberapa pembunuh berantai lain. Memangnya apa kisah yang dituturkan novel ini?

Novel ini diterbitkan pertama kali pada 1951 di Amerika Serikat, tempat kelahiran penulisnya, Jerome David Salinger. Pria kelahiran 1919 ini berayahkan Yahudi dan ibu berdarah Skotlandia. Dari ibunya yang berprofesi sebagai aktris inilah ia mewarisi darah seni dan menuntunnya menekuni bidang penulisan. The Catcher In The Rye adalah karya yang mengangkat nama dan reputasinya sebagai penulis.

Alkisah, adalah seorang remaja pria berusia enambelas tahun yang baru saja dikeluarkan dari sekolahnya karena tidak lulus ujian. Dari lima mata pelajaran yang diujikan, hanya satu saja yang lulus : Bahasa Inggris.

Holden Caulfield, anak yang tidak lulus itu, sebenarnya cukup cerdas. Terbukti ia diterima di Pencey Prep, sekolah paling favorit di Agerstown, Pensylvania. Pencey adalah sekolah entah ke berapa yang disinggahi Holden setelah ia dikeluarkan dari sekolah-sekolah sebelumnya dengan kasus yang nyaris sama.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Desember menjelang hari Natal. Sebenarnya, Holden masih punya waktu tiga hari lagi sebelum benar-benar harus hengkang dari Pencey. Namun, pertengkaran dengan teman sekamarnya, memaksa ia harus meninggalkan sekolahnya itu lebih cepat.

Dalam kebingungannya tak tahu harus ke mana – ia tak berani pulang ke rumah – Holden lantas terdampar dari satu penginapan ke penginapan lainnya, menghabiskan sisa uang sakunya di bar dan klub-klub malam dengan menenggak minuman keras serta ‘main perempuan’. Tingkahnya yang sok dewasa itu sering menimbulkan kelucuan atau malah keharuan. Ia membenci hampir semua orang dan segala hal dalam hidupnya, kecuali kedua orang adiknya : Phoebe dan Allie. Phoebe pulalah yang kemudian membuat Holden membatalkan niatnya untuk kabur dari rumah selamanya.

Kisah ini hampir seluruhnya disampaikan dalam bentuk monolog Holden yang dipenuhi umpatan dan caci-maki kepada semua orang dan segala hal : teman sekamarnya, kakaknya, kepala sekolahnya, film-film Hollywood, sekolahnya, pemain piano di bar, pemilik klub, dan apa sajalah. Dituturkan dalam bahasa percakapan sehari-hari yang ringan, akrab, dan gaul, sehingga kita seperti sedang mendengarkan curhat seorang sahabat yang berlagak tak pedulian, sok berani, namun jujur setengah mati.

Sesungguhnyalah, Holden tidak benar-benar seorang pemarah. Ia hanya berani mengumpat dan mengomel dalam hati. Terbungkus oleh sifat-sifat pemberangnya, sejatinya ia adalah sosok pribadi lembut yang rapuh serta gampang terharu oleh hal-hal kecil.

Konon, masa remaja adalah masa paling sulit dalam hidup seseorang. Masa-masa labil saat seseorang mencoba menemukan identitas dan jati diri. The Catcher In The Rye dengan sangat menawan memaparkan gejolak jiwa, emosi, mimpi-mimpi, serta soal betapa repotnya menjadi seorang remaja (Amerika) berusia enambelas tahun. J.D. Salinger berhasil menghidupkan karakter utama berikut peristiwa-peristiwa yang menyertainya.Novel tersebut mampu membuka mata dan lucu pada saat yang bersamaan. Lucu, karena kemarahan sekaligus kecerdasan Holden menjadikan persepsinya tajam namun juga tak terduga. Ketika jujur memandang dunia, ternyata ada Holden Caulfield dalam setiap diri kita. Tinggal masalah apakah kita lalu terbawa kemarahan, seperti yang terjadi pada para pembunuh itu Dan ia mengakhiri novel psikologi ini dengan sangat menyentuh, menerbitkan rasa haru.

0 komentar:

Posting Komentar